Sumber www.traxmagz.com
Menonton acara ini mengingatkan akan
sosok ayah kita. Pria tambun setengah baya yang menggandeng tangan ibu
dan berbahagia menyusuri kenangan. Dekade 80an adalah memori cinta
tentang mereka, merajutnya dengan nada indah sekaligus momen untuk tidak
malu menjadikan lagu-lagu Indonesia sebagai pengantar pelabuhan mereka
berdua.
Sayangnya masa itu tidak bisa diulangi lagi, tidak bisa diturunkan ke
anak-anak mereka karena semua sudah berubah. Emas tidak akan lapuk
dimakan waktu, sedangkan musik hari ini sudah tidak lagi seindah dulu –
lapuk. Apa yang bisa diharapkan ketika kualitas disingkirkan, Rupiah
dituhankan dan kita tidak lagi bangga terhadap apa yang dihasilkan musik
Indonesia. Lebih baik mati saja. Hingga rindu rasanya dan iri melihat
apa yang terjadi dengan musik lokal 30 tahun lalu. Karena sebentar lagi
keindahan musik akan runtuh, sial rasanya menjadi generasi 2000an.
Tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Hipokrit. Para pemberontak sulit
ditemukan lagi hingga malu menyaksikan televisi maupun mendengar radio.
Kehancuran berada tepat di depan mata dan telinga. Mp3, RBT 30 detik,
boneka industri kulit ayam goreng adalah omong kosong musik Indonesia.
Kemanakah perginya sosok-sosok terbaik seperti Dodo, Utha, Stanzah atau
Chrisye ? Kemurnian seni musik jiwa telah dikebiri berganti dempulan
orang-orang yang tidak mengerti musik. Musik menjadi begitu murah dan
terlalu mudah. Gratis dan instan. Selamat datang kiamat. Songsonglah era
kemunduran. Miris menyedihkan. Persetan.
Indonesia 80's menjadi bukti kejayaan dan pembuktian,
entahlah apa pendapat para pengisi acara ini terhadap musik nasional
hari ini. Tapi Trie Utami yang kini telah melepas jilbabnya dan tampil
menggoda mengatakan dari atas panggung sambil menatap tajam, “Kami
musisi 80an membuktikan diri masih ada dan masih mampu bernyanyi dengan
baik dan benar.” Malulah kalian generasi penerus.
Sederet kualitas emas dihadirkan malam itu dan kita masih bangga pada
mereka meski sudah mulai dilupakan. Malam itu Elfa's Singer, Vina
Panduwinata, 2 D sampai Mus Mujiono memberitahu bagaimana pop tidak
harus terdengar rapuh dan cengeng demi pasar. Hingga para epigon Abadi
Soesman Lonely Club Heart Band (Beatles), Acid Speed (The Stones),
Cockpit (Genesis), Solid 80 (Queen) yang terkurung oleh karya idolanya
terdengar jauh lebih baik dari karya orisinil band-band industri
sekarang.
Bagi politikus 'Ahok' Basuki Tjahaja Purnama cawagub Jakarta naik ke
panggung ketika Solid 80 membawakan “We Are The Champion” merupakan
ajang kampanye gratis – selipan politik, entah harus skeptis atau
muntah.
Lalu si jenius tua Fariz RM tampil dengan keriput tirusnya, inilah
surga pop nasional. Ketika kalian membaca artikel ini, kita sudah akan
tahu apakah Ahok akan menjadi juara atau pecundang. Terserahlah, tapi
pedulikah dia terhadap perkembangan kualitas seni dalam negeri ? Yang
jelas kita peduli, dan terlepas dari berbagai aspek nostalgia, Indonesia
80's menjadi ajang yang sangat diperlukan saat ini. Berkacalah wahai
musisi muda. Dan emas akan tetap menjadi emas. <rio
Jumat, 21 September 2012
Indonesia 80's: Dekade Dekadensi
Jumat, September 21, 2012
Andreopa