"Sepenggal hati mungkin tak bisa bercerita, tapi sepotong cerita bisa membuat hati bicara" - Andre OPA ********* "Music is everybody’s possession. It’s only publishers who think that people own it.” - John Lennon

Senin, 22 Agustus 2016

Narasi Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba #KKPDT2016 #PesonaDanauToba


 

KARNAVAL KEMERDEKAAN
PESONA DANAU TOBA
Balige, 21 Agustus 2016
 “Budaya Menyatukan Perbedaan"
 
Isi
1. Sejarah Danau Toba
2. Budaya Batak
3. Peserta Karnaval 7 Kabupaten Kawasan Danau Toba
4. Peserta Karnaval Provinsi
 
SEJARAH DANAU TOBA
Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara yang terbentuk karena letusan gunung berapi. Geolog pertama yang membangun teori ini adalah R.W. van Bemmelen dari Belanda yang datang ke Danau Toba tahun 1939. Van Bemellen sebenarnya meneruskan kerja tiga geolog sebelumnya, yaitu Wing Easton (1894, 1896), Volz (1909), dan Klein (1917), yang mengidentifikasi limpahan bebatuan vulkanik di beberapa wilayah terkait Danau Toba.
 
Geolog lain, Bill Rose dan Craig Chesner mengungkapkan tabir kedahsyatan gunung berapi yang membentuk Danau Toba. Sebelumnya jenis abu vulkanik yang disampaikan kedua geolog itu sudah ditemukan seorang geolog dari Universitas Toronto bernama John Westgate pada tahun 1990-an. Terbentuknya Danau Toba waktu itu dikaitkan dengan petaka dunia dengan letusan berkali-kali. Letusan terakhir paling dahsyat terjadi pada 74.000 tahun yang lalu. Letusan ini telah membuat iklim dunia berubah dramatis dan menyebabkan bumi mengalami musim dingin berkepanjangan dan hampir-hampir memusnahkan umat manusia karena mengalami krisis pangan.
 
Sebelum Danau Toba dikenal dalam peta geologis dunia, ada dua missionaris Amerika, Burton dan Ward yang ingin mengunjungi Toba karena mendengar kabar tentang danau yang indah ini. Tahun 1824 mereka telah mengunjungi Silindung, wilayah di dekat Tarutung. Namun tidak mudah bagi orang asing masuk wilayah Batak yang pada waktu itu karena termasuk daerah merdeka. Pertukaran daerah jajahan Inggris dengan Belanda memengaruhi kebijakan Raffles atas Sumatera. Belanda kemudian menguasai Sumatera. Junghunn, seorang Jerman dikirim untuk memetakan kembali Sumatera pada tahun 1840.
 
Sebelumnya William Marsden sudah membuat catatan tentang Sumatera pada 1811, namun tanpa mengenalkan  adanya Danau Toba. Barulah dengan ekspedisi Junghunn Danau Toba mulai tercantum dalam peta Sumatera.  Junghunn mendapat informasi tentang Danau Toba dari pribumi, kemungkinan dari eks tentara Padri yang sempat melakukan invasi ke Tanah Batak pada tahun 1826 – 1831. Dalam catatan  Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Lelo (Idris Nasution), salah satu panglima padri menyerang Sisingamangaraja X di Bakkara. Istana Sisingamangaraja waktu itu masih berada di tepi Danau Toba, tepatnya Lumban Mariste Bakkara.  Konon Junghunn sempat memandang Danau Toba dari dataran tinggi Humbang sebelum ekspedisinya selesai pada tahun 1842.
 
Orang asing pertama yang betul-betul memandang Danau Toba secara dekat adalah Van der Tuuk. Peneliti Belanda itu mengunjungi Danau Toba pertama kali pada tahun 1855. Kemudian setelah kolonialisme menguasai sebagian Tanah Batak, pada tahun 1890 seorang peneliti botani Italia memasuki Danau Toba dari bagian Selatan melewati area Sibandang, Bakkara, Janjiraja, Sabulan di bagian Barat dan terus ke daerah Parparean di bagian Tenggara danau. Modigliani menulis, populasi ikan di bagian yang dilewati pada waktu itu sangat tinggi, meskipun jenisnya sedikit. Kedalaman danau mencapai 450 meter dengan ketinggian bebukitannya 1700 di atas permukaan laut. Memasuki masa kolonialisme kunjungan ke Danau Toba mulai meningkat, terutama setelah tahun 1907 dengan pengangkatan sejumlah kepala nagari di wilayah Batak Toba, Raja Napitu di Simalungun, dan Kebayaken di Karo.
 
BUDAYA BATAK
Marga dan Dalihan Natolu
Marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan identitas kelompok. Marga digunakan untuk membedakan identitasmasing-masing kelompok. Asal-usul setiap marga secara umum dapat dikaitkan dengan nama leluhur tertentu dan perkampungan. Misalnya marga Sinaga awalnya merupakan nama salah satu dari anak Siraja Lontung. Kemudian oleh semua keturunannya dianggap sebagai identitas bersama, terutama keturunan yang mengikuti garis ayah atau patrilineal.
Perempuan Batak Toba sebelum menikah masih mengikuti marga ayahnya.Namun setelah menikah marganya perlahan tenggelam karena harus mengikuti marga suami. Marga yang terkait dengan nama perkampungan misalnya Hutasoit dan Lumbantoruan. Kedua marga ini sebelumnya karena mempunyai induk yang sama terkadang menggunakan marga Sihombing. Jika mengikuti nama leluhur itu, marga Lumbantoruan si abangan dari Hutasoit. Namun dari asal-usul perkampungan istilah huta wajib lebih awal dalam merintis perkampungan. Kemudian istilah lumban menyusul disematkan pada perkampungan yang baru, sebagai perluasan perkampungan awal. Sampai perkampungan baru dibuat masih ada istilah khusus disematkan untuk membedakannya dengan perkampungan sebelumnya; terkait atau tidak para penghuninya secara genealogis atau hanya marga pendatang atau penumpang.
Ada kalanya hubungan genealogis menjadi terbalik karena status. Si abangan menjadi si adikan karena status kepemimpinan, karena itu tidak jarang diungkapkan, haha di harajaon, alai sianggian di partubu. Terkadang situasi ini tidak merumitkan hubungan identitas marga karena rujukannya situasional. Tinggal pewarisannya perlu dijaga. Ada juga marga-marga yang berbeda, namun merasa satu karena sumpah atau perjanjian. Karena itu ada ungkapan togu urat ni bulu toguan urat ni padang, togu urat ni uhum toguan urat ni padan.
Ada kalanya dua marga satu induknya lebih akrab dengan marga lain karena sumpah atau perjanjian. Misalnya marga Lumbantoruan dengan Naibaho. Kedua marga ini berbeda induknya, namun karena sumpah atau perjanjian putra-putri kedua dilarang saling mengawini. Berarti di balik pewarisan marga dalam masyarakat Batak Toba ada hal-hal alami dan gamblang selain yang rumit dan terselubung.
Jumlah marga dan cabangnya pada masyarakat Batak Toba diperkirakan mencapai 400-an. Asosiasi marga-marga terhubung dengan marga di luar Batak Toba karena faktor migrasi dan persoalan masyarakat tradisional. Misalnya marga Sihotang satu asosiasi dengan Siketang di Pakpak dan Sitepu di Karo. Usaha asosiasi itu sangat berhasil melalui marga-marga yang tergabung ke Nai Ambaton, yang jumlahnya 50-an marga. Nai Ambaton merupakan pseudonim dari Sorbadijulu. Sesama marga yang tergabung ke Nai Ambaton dilarang juga saling-mengawini.
 
 
Semua marga berinteraksi secara formal dalam praktik Dalihan Natolu, arti harafiahnya adalah tungku berkaki tiga yang menyimbolkan tiga posisi dalam praktik adat Batak Toba. Di Simalungun disebut Tolu Sahundulan, di Karo disebut Raket Sitelu, di Pakpak disebut Daliken Sitelu dan di Angkola atau Mandailing disebut Dalian Natolu (tanpa huruf h).
 
Setiap pemberi putri disebut sebagai hula-hula yang harus dihormati. Penerima putri itu disebut boru yang harus melayani. Sedangkan marga sesama disebut sebagai dongan tubu yang menjalankan fungsi kesetaraan. Ketiga posisi dalam Dalihan Natolu itu masing-masing masih memiliki tingkatan. Tanpa pengenalan dan penguasaan informasi atasnya dapat mengganggu proses dalam praktik Dalihan Natolu melalui adat. Dalam sistem relasi sosial seperti ini maka seseorang bisa dalam posisi hula-hula, di kesempatan lain menjadi boru atau dongan tubu.
 
Adat menjadi wujud nyata dari praktik Dalihan Natolu, selain interaksi bertutur. Posisi seseorang secara Dalihan Natolu sekaligus menjadi tiga karena posisi perkawinan antar marga. Boleh dikatakan marga sebagai identitas kelompok merupakan konsep dalam praktik Dalihan Natolu. Irisan konsep itu seperti lembaran terbuka dan sadar posisi jika dikaitkan dalam praktiknya seperti Dalihan Natolu. Kemiripan Dalihan Natolu dalam praktiknya berlangsung pada subkultur Batak lainnya, meskipun sebutan atau penamaan berbeda. Di Simalungun dikenal dengan sebutan Tolu Sauduran, di Karo disebut Rakut Sitelu, di Pakpak disebut Daliken Sitelu, dan di Angkola/Mandailing disebut Dalian Natolu.
 
 
PESERTA KARNAVAL 7 KABUPATEN KAWASAN DANAU TOBA
 
Kostum Presiden dan Ibu Negara
Perancang: Edward Hutabarat
Asal Ulos Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara
 
Ulos Ragidup Sirara
Ulos adalah kain tenun khas Batak. Istilah itu digunakan di Toba, Angkola, dan Mandailing, sedangkan di Simalungun disebut hiou, di Karo disebut uis, dan di Pakpak disebut oles. Banyak sekali ragam ulos berdasar wilayah dan fungsi sosial.
 
Ulos Ragidup Sirara adalah turunan dari Ulos Ragidup dengan dominasi warna gelap. Sedangkan Ulos Ragidup Sirara ditandai dengan warna merah yang menonjol. Motif Ulos Ragidup memiliki garis-garis di bagian tengah yang mengantarai dua bidang putih di kedua ujungnya. Kedua pinggiran itu menyerupai pinggiran Ulos Ragihotang, yang khusus diperuntukkan bagi pria.  
 
Ragidup berasal dari kata ragi dan idup yang bermakna corak yang hidup. Ulos ini diperuntukkan bagi kaum bapak atau bagi pribadi yang terhormat atau para raja.
Secara umum ulos diberikan kepada seseorang sebagai tanda penghormatan atau penghargaan kepada pribadi yang diterima dengan baik dan diakui sebagai bagian dari masyarakat pemberi ulos. Secara tradisi, ulos bermakna dalam konteks Dalihan Natolu, sistem kekerabatan Batak Toba.
 
Ulos Tum-tuman
Asal-usul nama ulos ini diperkirakan bersumber dari motifnya, yang dekat dengan makna menyala dan berdentum secara lembut. Motif ulos ini sudah mulai langka dan digunakan kaum ibu. Jenis ulos untuk kaum ibu dan perempuan dibedakan untuk kaum bapak dan laki-laki. Penggunaan ulos yang sama untuk kaum laki dan perempuan hanya terjadi sewaktu menerima ulos dalam acara adat. Jenis ulos yang digunakan kaum ibu dan wanita adalah Sadum, Mangiring, Surisuri, dan lain-lain. Sadum lazim didominasi warna-warni yang feminin dan menjadi penanda yang jelas pada pesta.
 
Tari Penyambutan Tortor Somba
Yayasan Pusuk Bukit
Pelatih: Sedihma Silalahi
 
Pada jaman kerajaan apabila seorang raja datang ke tanah Batak Toba, 7 putri Danau Toba akan menyambut dengan tarian, dan menjunjung gajut yang berisi beras Sipirni Tondi. Tujuannya agar raja menjadi satu dengan alam setempat. Di berikan air daun sirih agar raja dan rombongan disucikan ;jeruk purut bermakna agar raja dan rombongan dianugerahi kekuatan untuk memasuki wilayah; telur ayam kampung bermakna agar raja dan rombongan diminyaki oleh para leluhur dan semesta alam. Tujuh Putri Danau dan 7 Ulubalang menari mundur diiringi Gondang sambil menyerukan horas…horas….horas…. hingga raja sampai di tempat duduk.
 
Setelah raja duduk disajikan tari 5 serangkai yang menunjukkan 5 suku di Batak dan tari 9 cawan agar rombongan jauh dari mara bahaya. Menurut tradisi, ritual dilanjutkan dengan mengalungkan kain Sitolu Bolit atau kain tiga warna, merah, putih, dan hitam agar raja selalu kuat, suci dan disertai kebijakan untuk memimpin negeri.
 
Perjalanan raja akan dibuka oleh mossak atau pesilat dengan iringan Gondang Sabangunan dan 112 penari cawan yang memerciki air jeruk purut sepanjang perjalanan.
 
Monsak
Yayasan Pusuk Bukit
Koordinator: Sorimangaraja
 
Monsak adalah sebutan Batak Toba untuk pencak silat. Di Simalungun pencak disebut Ndihar. Di Karo dengan Ndikkar, tapi kadang kala disebut Mayan. Konon karena perintis mayan dan gendang di Tanah Karo adalah salah seorang anak Guru Kinayan. Pencak di tiga wilayah ini selalu diiringi dengan musik. Repertoar musik gondang untuk monsak dikenal dengan Gondang Haro-Haro yang mengiringi gerakan pencak.
 
Ulubalang
Perguruan Naga Sakti
Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Simalungun
Kabupaten Karo
Kabupaten Pak-Pak Barat
 
Ulubalang adalah sebutan untuk pengawal yang dilakukan oleh manusia. Pengawalan yang dilakukan bukan manusia atau gaib disebut Pangulubalang. Para pengawal raja disebut dengan Ulubalang Raja. Pengawal perkampung disebut dengan Pangulubalang Ni Huta. Kadangkala Pangulubalang berwujud manusia manusia yang senantiasa siap untuk melindungi wilayah.
 
Di daerah lain Ulubalang bisa disejajarkan dengan para penjaga keamanan adat, seperti Pecalang di Bali, atau Kabasa di Sulawesi Utara.
 
Tari Sembilan Cawan
Yayasan Pusuk Bukit
Pelatih: Sedihma Silalahi
Penari 100 cawan dari Tapanuli Utara
 
Cawan dalam sebutan Batak Toba adalah saoan. Tari Cawan adalah terjemahan Tortor Saoan. Cawan merupakan wadah dalam dunia pengobatan dan ritual. Ke dalam cawan dicampurkan air dengan jeruk purut agar menjadi air suci atau pangurason. Air suci itu dipercikkan kepada orang yang membutuhkan kesembuhan batin dan fisik. Dalam konteks pengobatan, cawan dekat dengan Sibaso (dukun perempuan, di Karo dikenal melalui ritus Peruma Begu). Cawan itu terkadang dijunjung oleh Sibaso. Sehingga citra tarian cawan adalah perilaku menjunjung. Merujuk ke konteks awal cawan itu, tari cawan hanya menjunjung satu cawan. Namun dalam perkembangannya dapat menjadi tiga, tujuh, atau sembilan. Hitungan ganjil itu memiliki makna tersendiri dalam tradisi Batak Toba. Setiap penari cawan juga mencerminkan kesucian. Dalam seni pertunjukan jumlah cawan yang semakin banyak digunakan untuk menarik dan membangun ketegangan penonton.
 
Tari Lima Puak
Propinsi Sumatera Utara
Koordinator Monang Butarbutar
 
Sebutan tari lima puak bersumber dari tradisi Opera Batak dengan rangkaian tari Toba, Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pakpak. Opera Batak muncul pada tahun 1920-an. Dengan ciri khas kostum masing-masing, penampilan dalam Tari Lima Puak dilengkapi dengan  pola-pola musikal dari lima puak itu juga. Meskipun dengan mengandalkan instrumen musik dari Batak Toba, pengenalan gerak dan musik atas kelima puak ini menjadi penting dalam imajinasi penyatuannya. Di samping perbedaan-perbedaan tidak bisa dilupakan adanya persamaan di antara lima puak itu.
 
Koor Ama Kabupaten Balige
Sik Sik Sibatumanikkam - Lagu Tradisi Batak
Adaptasi untuk male choir dari arransemen Pontas Purba
Pengarah: Bupati Tobasa Ir. Darwis Siagian
Pelatih: Andi Marlon
 
Koor Ama hanya beranggotakan para bapak. Karena minat menyanyi yang tinggi, muncul banyak kelompok paduan suara dengan berbagai kategori. Ada yang khusus untuk ibu-ibu, anak-anak atau remaja. Di satu gereja bisa ada lebih dari 10 paduan suara yang aktif.
 
Sik Sik Sibatumanikam merupakan refrain dengan syair berupa pantun. Frasa itu tidak bermakna. Hanya merupakan tiruan bunyi (onomatope), terutama untuk ujaran sik sik. Sedangkan sibatumanikkam arti janggalnya sibatu yang menikam. Ekspresi musikal dengan bunyi-bunyi seperti ini ada di hampir semua wilayah di Indonesia. Misal dalam khasanan lagu Jawa ada sir pong dele gosong sir sir pong, atau cik cik periuk dari tradisi Melayu Kalimantan.
 
Tandok
Kecamatan Balige
Kecamatan Tampahan
Dinas Kesehatan
Dinas Pendidikan
Kabupaten Tapanuli Utara
 
Tandok adalah anyaman yang terbuat dan dari daun pandan dengan tinggi setengah meter serta diameter 7 – 10 Cm. Wadah ini digunakan sewaktu pesta adat untuk tempat beras atau padi. Si pemberi beras atau padi kepada yang melaksanakan hajatan dapat mengisikan tandok dengan jambar (bagian sesuai status dalam adat) atau tanda terima kasih yang diterimanya. Ketika membawa tandok ke pesta ibu-ibu biasanya menjunjung di kepala atau memeluknya di salah satu lengan.
 
Para bapak yang mewakili istri, karena sakit atau berhalangan hadir, juga dapat membawa tandok ke acara adat meski dengan malu-malu. Manguti Tandok, atau menyunggi tandok harus dilakukan dengan punggung yang tegak, sehingga menghindarkan dari punggung bungkuk. Sama dengan penyunggi sesajen di Bali.
 
Karena bahannya semakin langka, tandok dari bahan plastik mulai muncul juga di acara adat. Tandokmu do tandokhu, pandokmu do pandokhu (pandanmu pandanku, ungkapanmu juga ungkapanku). Perumpamaan itu mencerminkan tandok sebagai ungkapan keterwakilan dan kehadiran dalam adat. Yang mengirimkan tandoknya dalam pesta dianggap sudah hadir. Yang membawa titipan itu terkadang meletakkan tandok secara bertingkat sebelum menjunjungnya.
 
 
Mobil Hias
Pengarah: Dhani Pete
Perancang: Yugo Mudayadi
Pelaksana: Winarto
 
Mobil hias dalam karnaval mengalami transformasi yang besar. Di tahun 70-an mobil hias pada Karnaval Pembangunan hanya sekedar dipasangi berbagai ornamen tempelan seperti hasil bumi, hiasan tradisional, petani dengan caping dan dikendarai oleh tokoh-tokoh bahkan tanpa atribut karnaval. Terlihat lebih sebagai upaya mengangkat keseharian masyarakat pada mobil karnaval.
 
Ketika informasi tentang karnaval sudah semakin tersebar luas, ide-ide untuk membuat mobil hias karnaval semakin berkembang. Secara umum perkembangan mobil hias modern ditandai dengan tema atau visualisasi secara utuh. Bisa dengan mengangkat bentuk berdasar mitologi, atau mengangkat sebuah ikon visual. Bentuk mobil pada rancangan seperti ini sudah tidak terlihat lagi. Pada beberapa karnaval dengan materi bunga, seluruh badan mobil tertutup dengan bunga sehingga memunculkan visualisasi baru.
 
Pada Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba ada 7 mobil yang dikerjakan oleh perancang profesional dengan mengangkat beberapa bentuk visual budaya Batak. Mobil hias yang dikendarai oleh Presiden beserta Ibu Negara mengangkat bentuk wadah obat puyer yang sudah langka. Contoh bentuk ini didapat dari publikasi dari museum di luar negeri.
 
 
Sigale-gale
Sigale-gale kayu dari Kabupaten Samosir, Kabupaten Tobasa Samosir,
Sigale-gale garapan baru rancangan Robert Bronso Simanjuntak
Penandu Perguruan Naga Sakti
 
Sigale-gale terkait dengan kisah seorang raja yang kehilangan putra satu-satunya di medan perang. Untuk memperingati sang anak, sang ayah menyuruh orang pandai membuat patung menyerupai wajah si anak. Patung itu dianggap akan mewakili sang anak untuk menari ketika mengelilingi jasad si ayah. Ritual ini disebut papurpur sapata atau mengurai karma. Masyarakat Batak secara tradisional mengutamakan anak laki-laki untuk meneruskan garis generasi. Perempuan dianggap menjadi bagian dari keluarga suaminya kelak.
 
Patung Sigalegale di luar upacara kematian disimpan di tempat tersendiri, disebut di sopo balian yang terletak dekat persawahan. Penyimpanan patung itu sekaligus di dalam petinya. Itu menjadi peringatan kepada seseorang yang tidak memiliki keturunan dan diupacarai dengan menarikan patung Sigalegale. Patung Sigalegale dikerjakan oleh sejumlah tukang. Jika hanya satu orang mengerjakannya dianggap menjadi jalan kematian si pembuat. Selalu ada yang khusus dan berbeda ketika membuat bagian-bagian anatomi tertentu. Tinggi patung Sigalegale dibuat seperti tinggi manusia. Dulu setelah patung itu selesai diberi namanya Si Manggale dan kalau ada jenis perempuan Sigalegale diberi nama Nai Manggale.
 
Sigalegale ada versi ceritanya di Batak Toba dan Angkola. Namun artefak Sigalegale yang dipertontonkan berada di daerah wisata Samosir. Perkembangan minat terhadap Sigalegale, diwujudkan dalam ide-ide baru tari kreasi, patung berjalan seperti ondel-ondel Betawi. Kreasi ukuran juga muncul dari yang dianggap standard.
 
Pada Karnaval ini juga dibuat 5 Sigale-gale baru yang ditandu seperti pada Ogoh-Ogoh Bali namun diberi tali agar bisa bergerak-gerak.
 
 
Gondang
Gondang adalah perangkat musik gendang bernada yang ada di semua subetnik Batak. Gondang menyandang peranan penting dalam pelaksanaan upacara adat. Penamaan gondang berbeda di masing-masing subetnik. Gondang adalah sebutan khas Batak Toba. Di Angkola atau Mandailing disebut gordang. Di Pakpak disebut genderang. Di Karo disebut gendang. Sedangkan di Simalungun disebut dengan gonrang.
 
Pemahaman atas alat musik ini juga terkait dengan upacara, ensambelnya, dan repertoar yang dimainkan. Ensambel gondang Batak Toba terdiri dari gondang sabangunan dan gondang hasapi atau uning-uningan. Fungsi kedua ensambel ini berbeda berdasar sifat upacara atau kegiatan. Satu sisi alat musik gondang dapat digunakan secara terpisah dengan memisahkan tiga bilah dari perangkatnya. Tiga bilah itu disebut gondang odap, meskipun sebutan odap secara asli merupakan satu gendang tambahan secara khusus. Gondang juga satu paket dengan tarian. Para pemain gondang diyakini oleh masyarakat tradisi sebagai wakil Tuhan dan sering disebut dengan Batara Guru Yang Duduk.
 
Balerong Onan Balige
Tamu undangan di kursi penonton adalah warga masyarakat sepuh atau natua-tua dari pedagang di Pasar Onan Balige, para Opung Doli dan Opung Boru dari desa-desa, saudara-saudara yang berkebutuhan khusus sehingga tidak bisa berdesakan di tempat penonton dan harus duduk di kursi roda dari Dinas Sosial, dan tamu-tamu undangan dalam dan luar negeri.
 
Onan adalah sebutan untuk tempat dan hari pekan atau pasar bagi masyarakat Batak Toba. Onan tidak hanya menjadi pusat aktivitas dagang namun juga pusat pertukaran informasi tradaisional yang penting.
 
Balerong menunjuk pada bentuk bangunan. Kata itu mirip dengan kata Melayu balairung, yang bermakna sebagai tempat pertemuan. Sebelum kata balerong tersanding dikenal sebutan onan na marpatik. Onan dan hari pekan bagi masyarakat Batak Toba mengandung peraturan adat. Di onan seorang ibu yang baru pertama melahirkan anak membawa dan menunjukkan anak sulungnya pada ritual buhabaju. Orang yang melarikan diri ke onan juga tidak boleh dihukum sebelum selesai masa hari pekan. Keramaian hari pekan sering juga menciptakan sebutan lain dengan onan tombis. Lagu tentang onan tombis terkenal dengan onan tombis Porsea.
 
Onan Balerong di Balige terkenal karena 6 bangunannya yang dibangun pada zaman Kolonial Belanda pada tahun 1938. Onan Balige diperkaya dengan dengan ornamen gorga Batak Toba karya maestro Pande Mauli Siagian. Onan Balerong dulu menjadi pusat penjualan barang-barang produksi seperti ulos tenunan tangan serta tekstil dari Balige dan dari luar wilayah Toba. Sekarang Onan Balerong tetap berfungsi sebagai pasar tradisional dengan berbagai komoditas yang berlangsung sertiap hari Jumat. Pada hari onan para pedagang menggelar dagangannya baik yang di dalam bangunan Balerong, maupun yang menumpah di jalan dan mengular sampai pelabuhan. Pada hari biasa di onan tetap ada penjaja meski tidak seramai pada hari onan.
 
Seruling Batak
Par Suling Remaja Toba Samosir
Pelatih: Martogi Sitohang dari Yayasan Seruling
Pendukung: Horas Halak Hita
 
Hampir semua suku di wilayah Indonesia mempunyai budaya seruling dalam berbagai bentuk. Sebagian besar terbuat dari bambu. Meski ada beberapa yang terbuat dari kayu. Ada yang berfungsi hanya sebagai pengiring ritual dalam sebuah ensambel, namun ada juga yang sudah menjadi ekspresi estetis sebagai alat musik tunggal.
 
Pada seruling bambu ada dua teknik pembuatan. Yang pertama buluh bambu dilubangi tanpa tambahan apapun dan dimainkan menyamping dengan tiupan pada lubang. Sedangkan teknik pembuatan yang lain menggunakan tambahan bilah tipis rit yang dijepit pada ujung seruling, yang dimainkan dengan mengarah ke depan.
 
Pada umumnya seruling bambu di Indonesia ditala dalam skala nada pentatonik, namun seruling Batak ditala secara diatonis sehingga mudah dipadukan dengan alat musik modern. Kemungkinan besar tangga nada diatonis ini dipengaruhi oleh musik dari Eropa yang dibawa oleh misionaris Jerman. Namun masih ada seruling Batak yang bertangga nada pentatonis yaitu seruling Balobat dari Karo.
 
Yayasan Seruling telah membuat gebrakan yang dramatis dengan membuat pelatihan bermain seruling bagi ribuan pelajar di kawasan Danau Toba maupun di Sumatera Utara.
 
Terompet
Par Trompet Kabupaten Toba Samosir
 
Terompet Batak adalah hasil inkulturasi instrumen Eropa dengan budaya Batak. Tidak ada perubahan bentuk instrumen terompet. Bedanya hanya pada repertoar lagu saja dan cara menyikapi intrumen itu. Pemain terompet tidak menganggap dirinya pemain musik klasik seperti pemain terompet Eropa. Namun lebih sebagai pemain musik tradisi saja dengan alat musik Eropa. Selain memainkan lagu-lagu tradisi dalam berbagai upacara adat, kelompok pemusik terompet juga memainkan lagu ibadat.
 
Bentuk budaya ini juga muncul di Maluku dan di Manado dalam format yang sangat mirip.
 
Gundala-gundala
Kabupaten Karo
 
Gundala-gundala adalah pertunjukan tradisional dari Karo yang dimainkan oleh 5 orang dengan menggunakan topeng kayu, tangan artifisial, dan manifestasi burung Gurda-gurdi. Pertunjukan ini dalam konteks aslinya dikaitkan dengan ritual ndilo wari udan (memanggil hujan). Ada dua versi gundala-gundala Karo dengan mengambil cerita dari Kuta Lingga dan Kuta Seberaya.
 
Di  Kuta Seberaya pertunjukan ini lebih dikenal dengan tembut-tembut. Sedangkan versi cerita dari Kuta Lingga berkisah tentang seorang putri raja awalnya percaya dapat dijaga seekor burung Gurda-gurdi, yang ternyata penjelmaan seorang pemuda pertapa. Suatu hari si putri menyentuh paruh burung itu, lalu membuatnya marah kepada si putri hingga ingin mencelakannya. Para pengawal raja akhirnya harus membunuh burung itu karena keganasannya.
 
Cerita versi Kuta Seberaya terkait dengan kisah seorang pandai yang berkeinginan membuat Gundala-gundala seperti yang dilihatnya waktu lewat di ladang. Lalu sang pandai mencari kayu yang cocok untuk dijadikan gundala-gundala. Dia menemukan sejenis pohon bernama gecih. Namun karena upaya penebangan pohon itu dilakukan tanpa sesajen maka petir dan hujan datang untuk menghalangi. Baru setelah sesajen itu diberikan, maka pohon pun dapat ditebang. Namun hujan tetap masih turun. Turunnya hujan  tidak menghalangi sang pandai untuk menebang pohon. Lalu pohon dapat dijadikan menjadi Gundala-gundala dengan wajah yang lebih seram dari yang pernah dilihat sang pandai. Gundala-gundala dimainkan dengan gaya tarian Karo dengan iringan musik lembutnya. Musik Karo bertangga nada pentatonik dan sangat mirip dengan musik Sunda.
 
Marching Band Sultan Agung
Marching Band SMAN 2 Balige
 
PESERTA DARI PROVINSI
 
Aceh, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara.
by Facebook Comment


Create your own banner at mybannermaker.com!